14 Agustus 2011

INFEKSI OPORTUNISTIK GASTROINTESTINAL PADA HIV


I.  PENDAHULUAN
Masalah HIV/AIDS menjadi masalah besar dibanyak Negara di belahan bumi ini. Dari negara miskin, negara berkembang, hingga negara maju seperti Amerika Serikat. Indonesia sendiri tidak lepas dari ancaman HIV/AIDS.
Jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Indonesia dilaporkan hingga bulan Desember tahun 2010 sebanyak 24.131 jiwa, dimana sebanyak 4539 jiwa meninggal. Untuk daerah Sulawesi Selatan sendiri terdapat setidaknya 591 jiwa terkena HIV/AIDS, dan 62 jiwa diantaranya telah meninggal dunia. Berdasarkan data dari Ditjen PPM & PL Depkes RI tersebut, Sulawesi Selatan menempati urutan ke 8 dari 33 propinsi yang ada di Indonesia.
Infeksi oportunistik  dijabarkan sebagai infeksi yang dialami lebih parah dan frekuensinya lebih banyak,  yang merupakan penyebab utama peningkatan morbiditas dan mortalitas pada penderita HIV . Hal itu terutama sebelum meluasnya penggunaan kombinasi poten Anti Retroviral Therapy (ART).  Sejak awal 1990an, kemoprofilaksis, immunisasi, dan penanganan infeksi oportunistik akut yang lebih baik berkontribusi dalam peningkatan angka ketahanan hidup (survival) penderita.
Mengingat penyebaran yang semakin progresif tersebut dan tingkat mortalitas yang tinggi tersebut, perlu kita sama-sama mengetahui bagaimana perkembangan mendetail mengenai sindrom tersebut.
II. ETIOLOGI
Dari banyaknya infeksi oportunistik pada penderita HIV AIDS, salah satu yang banyak dan seringkali diderita oleh pasien HIV adalah gangguan pada sistem gastrointestinal. Yaitu Cryptosporidiosis yang disebabkan oleh protozoa Cryptosporidium. Yang menginfeksi mukosa usus  kecil (small intestine) yang terbagi tiga struktur, antara lain:
Ø  Duodenum panjangnya sekitar 25 cm
Ø  Jejunum 1.4 m (3–6 ft)
Ø  Ileum 3.5 m (6–12 ft)
Sedangkan untuk Isosporiosis disebabkan oleh Isospora belli. Isosporiosis dapat terjadi diseluruh dunia, namun lebih dominan pada daerah sub tropis dan tropis. Pada sebuah penelitian diketahui bahwa terdapat parasit tertentu yang menyerang organ khusus, pada pasien HIV yang terkena infeksi oportunistik.  Pada daerah lambung didapatkan Cytomegalovirus (CMV) dan Schistosoma mansoni, daerah duodenum yaitu Giardia sp., Cryptosporidium sp., dan pada keduanya  (lambung dan duodenum) Cryptosporidium sp dan Strongyloides stercoralis.
Pada gangguan biliaris, CMV, Cryptosporidium, dan mikrosporidia sering berperan menyebabkan syndrome di bilaris tersebut. Enterocolitis disebabkan oleh bakteri (Campylobacter, Salmonella, Shigella), virus (CMV, adenovirus), dan protozoa (Cryptosporidium, Entamoeba histolystica, Giardia, Isospora, mikrosporidia).
Gejala klinis infeksi oportunistik  pada saluran Gastrointestinal antara lain diare. Diare tersebut dapat disebabkan oleh infeksi maupun keganasan,
Berikut secara garis besar  penyebab infeksi oportunistik gastrointestinal:
  1. Infeksi Protozoa/Helminthes
Cryptosporidium, Microsporidium, Isospora belli, Leishmania donovani, Giardia, Cyclospora, Entamoeba histolytica, Strongyloides stercoralis.
  1. Infeksi Oleh Bakteri
Mycobacterium avium complex, Salmonella, Shigella, Campylobacter sp., Clostridium difficile, Small-bowel overgrowth, Vibrio parahaemolyticus
  1. Infeksi oleh Virus
Cytomegalovirus Herpes simplex Adenovirus Picornavirus HIV
  1. Infeksi oleh Jamur
Candida albicans, Histoplasma capsulatum

III.  PATOGENESIS
Cryptosporidium, Microsporidium, dan Isospora belli merupakan protozoa yang paling sering menginfeksi saluran cerna dan menimbulkan diare pada pasien HIV. Infeksi menular melalui rute feses-oral, kontak seksual, makanan, minuman, atau hewan.
Infeksi dapat menimbulkan gejala beragam, dari diare swasirna atau intermitten pada tahap-tahap awal infeksi HIV sampai diare berat yang mengancam nyawa pada pasien dengan gangguan kekebalan yang parah.
Yang berperan pada pathogenesis diare terutama karena infeksi yaitu factor kausal (agent) dan factor pejamu (host). Faktor pejamu adalah kemampuan tubuh untuk mempertahankan diri terhadap organisme yang dapat menimbulkan diri terhadap organism yang dapat menimbulkan diare, Terdiri dari faktor-faktor daya tangkis atau lingkungan internal saluran cerna a.l keasaman lambung, motilitas usus, imunitas dan juga lingkungan mikroflora usus. Pada pasien penderita HIV, terjadi penurunan system imunitas yang bermakna, sehingga mudah terinfeksi oleh mikroorganisme. Faktro kausal yaitu daya penetrasi yang dapat masuk sel mukosa, kemampuan memproduksi toksin yang memperngaruhi sekresi cairan usus halus serta daya lekat kuman.
IV.  GAMBARAN KLINIS
a.       Esophageal candidiasis
Pada penderita HIV, terdapat beberapa manifestasi klinis khususnya pada system gastrointestinal. Pada esophagus, terjadi Esophageal candidiasis  Namun perlu dibadakan juga esofagitis tersebut, karena dapat juga disebabkan oleh herpes simplec dan CMV. Hal ini penting untuk penanganan yang tepat.
b.     Penyakit hepatik
Pada beberapa autopsy pasien yang terinfeksi HIV, terlihat bahwa sering kali didapat infeksi maupun keganasan pada hatinya. Namun jarang menimbulkan gejala simptomatis yang berarti. Pada pemeriksaan kimiawi, didapat bahwa terjadi peningkatan alkaline phosphatase dan aminotransferase. Gejala-gejala yang biasa timbul yaitu mual, muntah, nyeri pada kuadran kanan atas perut serta jaundice.
c.       Penyakit Empedu (Biliary Disease)
Cholecystitis, sclerosing cholangitis, dan papillary stenosis  dilaporkan biasa terjadi pada pasien yang terinfeksi HIV. Penampakan pasien yang mengalami syndrome tersebut  yaitu mengalami mual yang berat, muntah, dan nyeri kuadran kanan atas perut.
d.     Enterocolitis
Enterocolitis biasa terjadi pada pasien yang terinfeksi HIV disebabkan oleh mikroorganisme yang sebelumnya telah disebutkan, atau bisa disebabkan oleh HIV itu sendiri. Beberapa organisme yajng menyebabkan enterocolitis pada pasien terjangkit HIV dapat pula menyebabkan diare pada pasien immunokompeten       .
Bagaimanapun juga, terdapat perbedaan mendasar pada gejala yang dialami pasien terinfeksi HIV,. Pasien terinfeksi HIV mengalami gangguan-gangguan tersebut lebih berat dan lebih kronik, termasuk demam tinggi dan nyeri perut yang hebat yang dapat menyebabkan mimic acute abdominal catastrophes. Bakteremia biasa terjadi pada enterocolitis pasien terinfeksi HIV. Relapse enterocolitis pada pasien terinfeksi HIV yang dimana pengobatan tidak adekuat telah dilaporkan disebabkan oleh infeksi Salmonella  dan Shigella.
e.      Gangguan lainnya
Dua gejala abnormalitas gastrointestinal pada pasien terinfeksi HIV adalah gastropathy dan malabsorbsi. Telah diketahui bahwa pada pasien terinfeksi HIV produksi asama lambung tidak di produksi normal dank arena hal tersebut terganggunya penyerapan obat-obatan yang membutuhkan medium asam
Sindrom malabsorbsi   kemungkinan disebabkan infeksi usus kecil  oleh M. avium kompleks, Cryptosporidium, atau mikrosporidia.
V.    DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Pasien yang datang ke klinik dilakukan anamnesis tambahan untuk mengetahui pasien datang dengan keluhan gangguan gastrointestinal yang disebabkan oleh organism yang memang pathogen pada tubuh manusia, atau disebabkan oleh bakteri non pathogen. Anamnesis tambahan bertujuan untuk mencari tahu apakah pasien tersebut memiliki resiko terinfeksi HIV atau tidak. Pasien yang memiliki riwayat pengguna narkoba melalui jarum suntuk, memiliki tato di tubuh, merupakan pekerja seksual, memiliki resiko tinggi terkena HIV.
Anamnesa juga ditujukan untuk mengetahui berapa lama dan seberapa parah tingkat gangguan gastrointestinal yang dialami. Jika frekuensi gangguan yang berat dan telah dialami lama (lebih dari satu bulan), bias dicurigai terjadi penurunan system kekebalan tubuh yang disebabkan oleh HIV.
Biasanya pasien dengan diare datang dengan berbagai gejala klinik tergantung penyebab penyakit dasarnya. Keluhan diarenya berlangsung kurang dari lebih dari 30 hari. Diare karena penyakit usus halus biasanya berjumlah banyak, diare air, dan sering berhubungan dengan malabsorbsi, dan dehidrasi sering didapatkan. Diare karena kelainan kolon sering berhubungan dengan tinja berjumlah kecil tetapi sering, bercampur darah dan ada sensasi ingin ke belakang. Pasien dengan diare infektif datang dengan keluhan khas yaitu: nausea, muntah, nyeri abdomen, demam, dan tinja yang sering, bisa air, malabsorbtif, atau berdarah tergantung bakteri pathogen yang spesifik. Secara umum, pathogen usus halus tidak invasive, dan patogen ileokolon lebih mengarah ke invasive. Pasien yang memakai toksin atau pasien yang mengalami infeksi toksigenik secara khas mengalami nausea dan muntah sebagai gejala prominen bersamaan dengan diare air tetapi jarang mengalami demam. Muntah yang mulai beberapa jam dari masuknya makanan mengarahkan kita pada keracunan makanan karena toksin yang diahsilkan. Parasit yang tidak menginvasi mukosa usus, seperti Giardia lamblia dan Cryptosporidium, biasanya menyebabkan rasa tidak nyaman di abdomen yang ringan. Giardiasis mungkin berhubungan dengan steatorea ringan, perut bergas dan kembung.
Sindrom Hemolitik-uremik dan purpura trombositopenik trombotik (TTP) dapat timbul pada infeksi dengan bakteri E.coli enterohemorrhagik dan Shigella, terutama anak kecil dan orang tua. Infeksi Yersinia dan bakteri enteric lain dapat disertai sindrom Reiter (arthritis, uretritis, dan konjungtivitis), tiroiditis, perikarditis, atau glomerulonefritis. Demam enteric, disebabkan Salmonella parathypi, merupakan penyakit sistemik yang berat yang bermanifestasi sebagai demam tinggi yang lama, prostrasi, bingung, dan gejala respiratorik, diikuti nyeri tekan abdomen, diare dan kemerahan (rash).
Dehidrasi dapat timbul jika diare berat dan asupan oral terbatas karena nausea dan muntah yang merupakan gejala-gejala gangguan gastrointestinal pada pasien HIV. Dehidrasi bermanifestasi sebagai rasa haus yang meningkat, berkurangnya jumlah buang air kecil dengan warna urin gelap, tidak mampu berkeringat, dan perubahan ortostatik. Pada keadaan berat, dapat mengarah ke gagal ginjal akut dan perubahan status jiwa seperti kebingungan dan pusing kepala.
2. Pemeriksaan Laboratorium
Terdapat dua uji yang khas digunakan untuk mendeteksi antobodi terhadap HIV. Yang pertama, enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA), bereaksi terhadap adanya antibody dalam serum dengan memperlihatkan warna yang lebih jelas apabila terdeteksi antibody virus dalam jumlah besar. Karena hasil positif palsu dapat menimbulkan dampak psikologis yang besar, maka hasil uji ELISA yang positif diulang, dan apabila keduanya positif, maka dilakukan uji yang lebih spesifik, Western bot. Uji Western blot dikonfirmasi dua kali. Uji ini lebih kecil kemungkinan member hasil positif palsu atau negative palsu.
HIV juga dapat dideteksi dengan uji lain, yang memeriksa ada tidaknya virus atau komponen virus sebelum ELISA atau Western blot dapat mendeteksi antibodi. Prosedur-prosedur ini mencakup biakan virus,p pengukuran antigen, p24, dan pengukuran DNA dan RNA HIV yang menggunakan reaksi berantai polymerase (PCR) dan RNA HIV-1 plasma uji-uji seperti ini bermanfaat dalam studi mengenai imunopatogenesis, sebagai penanda penyakit, pada deteksi dini infeksi, dan pada penularan neonatus.
3. Pemeriksaan lainnya
Selain anamnesis tambahan, diperlukan juga beberapa pemeriksaan khusus demi penegakan diagnosis pasti dan pada akhirnya didapatkan pengobatan yang tepat sesuai kausa. Pemeriksaan tambahan ini dilakukan untuk mengetahui penyebab infeksi oportunistik pada pasien terinfeksi HIV.
Seperti pada pasien terinfeksi HIV yang mengalami gangguan hati, dibutuhkan biopsy liver perkutaneus. Dapat juga dilakukan pemeriksaan diagnostic yang kurang invasive, seperti kultur darah dan biopsy pada titik-titik yang lebih mudah diakses jika penyebabnya antara lain Mycobacterium avium complex dan lymphoma.
Pada pasien dengan infeksi oportunistik yaitu gangguan di system biliarisnya, dapat ditemukan peningkatan alkalin fosfatase yang tidak sebanding dengan peningkatan amintotransferase. Meskipun dilatasi saluran dapat diketahui dengan ultrasound, akan tetapi penegakan diagnosis detentukan dengan endoscopic retrograde cholangiopancreatography.
Untuk enterocolitis, diakibatkan begitu banyaknya yang dapat menyebabkannya, kultur tinja dan pemeriksaan multiple pada tinja (ova dan parasit). Pasien yang pada satu tinjanya terdapat Cryptosporidium  dengan perbaikan gejala kurang dari satu bulan sebaiknya tidak dianggap mengidap AIDS, namun sebagai Cryptosporidium yang disebabkan self-limited diarrhea pada pasien HIV negative.
Pasien dengan pemeriksaan tinja negative, namun tetap terdapat gejala harus dilakukan pemeriksaan lanjutan dengan colonoscopydan biopsy. Pasien dengan gejala lebih dari satu bulan tanpa diketahui penyebab diarenya dicurigai dengan diagnosis enteropathy AIDS.
VI.    PENATALAKSANAAN
Esophageal candidiasis  dimulai dengan pemberian fluconazole, dengan dosis 200 mg/hari selama 10-14 hari. Penyakit hepatik pada pasien yang terinfeksi HIV seperti hepatitis dapat diberikan sulfonamide, obat-obat imidazole, pengobatan antituberculosis, pentamidine, clarithromycin, dan didanosine. Pasien dengan hepatitis kronik diberikan penanganan yang lebih cepat dan progresif, karena terdapat hepatotoksik dari pemberian terapi antiretroviral. Penyakit Empedu (Biliary Disease).
Enterocolitis pada pasien yang terinfeksi HIV diberikan pengobatan yang bersifat simptomatis. Diberikan difenoksilat dengan atropine (1-2 tablet/3-4x sehari per oral). Jika tidak memberikan respon yang baik, maka diberikan paregoric dengan bismuth (5-10 ml per oral 3-4 kali sehari). Octreotide dengan dosis meningkat (dimulai dari 0,5 mg melalui subkutaneus tiap 8 jam selama 48 jam) untuk gejala ameliorasi yang sekitar 40% terjadi pada pasien cryptosporidia atau idiopatik HIV yang mengalami diare.
Maintanance cairan tubuh tidak boleh dilupakan, terutama pada pasien yang mengalami diare. Bila pasien keadaan umum baik tidak dehidrasi, asupan cairan yang adekuat dapat dicapai dengan minuman ringan, sari buah, sup dan keripik asin. Bila pasien kehilangan cairan yang banyak dan dehidrasi, penatalaksanaan yang agresif seperti cairan intravena atau rehidrasi oral dengan cairan isotonic mengandung elektrolit dan gula atau starch harus diberikan. Terapi rehidrasi oral murah, efektif dan lebih praktis daripada cairan intravena. Cairan oral antara lain: ringer laktat dll. Cairan diberikan 50-200 ml/kgBB/24 jam tergantung kebutuhan dan status dehidrasi.
Untuk memberikan rehidrasi pada pasien perlu dinilai dulu derajat dehidrasi. Dehidrasi terdiri dari dehidrasi ringan, sedang dan berat. Ringan bila pasien mengalami kekurangan cairan 2-5% dair BB. Sedang bila pasien kehilangan cairan 5-8% dari berat badan. Berat bila pasien kehilangan cairan 8-10% dari berat badan.
Prinsip menentukan jumlah cairan yang akan diberikan yaitu sesuai dengan jumlah cairan yang keluar dari tubuh. Macam – macam pemberian cairan:
a. BJ plasma dengan rumus:
BJ plasma – 1,025
Kebutuhan cairan = ----------------------------- x Berat Badan x 4 ml
0,001
b. Metode pierce berdasarkan klinis:
Dehidrasi ringan, kebutuhan cairan = 5% x BB (kg)
Dehidrasi sedang, kebutuhan cairan = 8% x BB (kg)
Dehidrasi berat, kebutuhan cairan = 10% x BB (kg)
c. Metode Daldiyono berdasarkan skor klinis a.l.
skor
Kebutuhan cairan = ------------ x 10 % x kgBB x 1 liter
15
Bila skor <>
Cairan rehidrasi dapat diberikan melalui oral, enteral melalui selang, nasogastrik atau intravena.
Bila dehidrasi sedang/berat sebaiknya pasien diberikan cairan melalui infuse pembuluh darah. Sedangkan dehidrasi ringan/sedang pada pasien masih dapat diberikan cairan per oral atau selang nasogastrik, kecuali bila ada kontra indikasi atau oral/saluran cerna atas tak dapat dipakai. Pemberian per oral diberikan larutan oralit yang hipotonik dengan komposisi 29 g glukosa, 3.5 g NaCl, 2.5 g Natrium bikarbonat dan 1.5 g KCl setiap liter. Contoh oralit generic, renalyte, pharolit dll.
Pengobatan-pengobatan lainnya diberikan secara simtomatik saja, seperti pemberian paracetamol jika mengalami demam, codein jika batuk disamping tetap memberikan terapi antiretroviral yang adekuat..
VII.  PROGNOSIS
Untuk mengetahui prognosis klinis dilakukan pemeriksaan serial hitung sel T CD4+ serum dan hitung RNA HIV.
VIII. KESIMPULAN
Infeksi oportunistik gastrointestinal pada HIV dapat terjadi disebabkan penurunan sistem kekebalan tubuh. Organism yang menyebabkannya merupakan organisme non pathogen, yang tidak akan me nimbulkan gejala klinis berat pada seseorang dengan kekebalan tubuh yang baik.
Pengobatan-pengobatan yang diberikan biasanya hanya bersifat simptomatik, karena yang mendasarinya terjadinya gangguan ini adalah penurunan antibodi yang berat.
DAFTAR PUSTAKA
Price,Sylvia.Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6.EGC.2003.Jakarta
McPhee,dkk.Current Medical Diagnosis & Treatment 2011 Fiftieth Edition.. Mc Graw Hill.2011. USA
http://emedicine.medscape.com/article/211316-clinical#showall Brian A. Boyle, MD posted: 07/01/2001; AIDS Read. 2001;11(7) © 2001 Cliggott Publishing, Division of CMP Healthcare Media
http://emedicine.medscape.com/article/211316-overview#showall Ana Luiza Werneck-Silva; Ivete Bedin Prado Posted: 02/18/2009; J Gastroenterol Hepatol. 2009;24(1):135-139. © 2009 Blackwell Publishing






Tidak ada komentar:

Posting Komentar